Warisanbudaya Indonesia yang pertama adalah pencak silat. Ini adalah bentuk dari seni bela diri yang berkembang di negara Indonesia dan memiliki berbagai aliran. Awal mula seni bela diri mulai dikenal pada berbagai belahan dunia karena actor laga yang mulai menunjukkan kemampuannya lewat kancah internasional.
Wayang yang menjadi salah satu warisan budaya berharga di Indonesia ini pasti telah kalian sering lihat di pentas-pentas kesenian atau di media informasi. Bagaimana munculnya warisan ini? Nah silahkan simak ya artikel ini sobat MI… Wayang ada yang berpendapat berasal dari kebudayaan Jawa namun ada juga yang berpendapat dari India, akan tetapi untuk bukti benarnya masih belum bisa dipastikan. Pendapat yang mengatakan bahwa wayang lahir di pulau Jawa ini, tidak hanya dikemukakan oleh para ahli dan peneliti bangsa Indonesia, akan tetapi juga dikemukakan oleh para ahli dari Barat diantaranya yaitu Hazeau, Kats, Rentse, Brandes dan Kruyt. Untuk pendapat yang mengatakan dari India, diduga wayang ini dibawa pada saat penyebaran agama hindu ke Indonesia. Yaps… untuk lebih tepatnya wayang ini berasal, masih belum ada yang memutuskan titik terangnya. Arti kata wayang tersendiri juga terdapat perbedaan terkait penjelasan kata wayang tersebut. Ada yang berpendapat bahwa kata wayang berasal dari kata “Ma Hyang” yang artinya dewa, roh atau juga berarti Tuhan. Pendapat yang kedua berasal dari bahasa Jawa yang artinya bayangan. Dikarenakan dalam kesenian pertunjukan wayang kulit sendiri hanya bisa melihat bayangan dari bentuk wayang kulit yang dimainkan. Di tanah Jawa, terdapat dua jenis wayang sebagai sebuah kultur kehidupan di masyarakat. Kedua jenis wayang tersebut merupakan simbol dari karakter manusia di sebuah peradaban. Wayang Kulit berasal dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, sedangkan Wayang Golek berasal dari Jawa Barat. Wayang Kulit merupakan boneka dua dimensi, yang terbuat dari kulit atau tulang. Sementara Wayang Golek yaitu boneka-boneka tiga dimensi yang terbuat dari kayu. Menikmati kedua wayang tersebut memiliki kekhasannya tersendiri, tergantung dari cara menikmatinya. Biasanya masyarakat Jawa Timur dan Jawa Tengah menikmati pertunjukan wayang kulit sampai pada aspek filosofinya. Sedangkan masyarakat Jawa Barat pertunjukan Wayang Golek hanya menunggu momen tawa.

KebudayaanSuku. Wisata Budaya di Pulau Lombok lombokwisata com. 1 Budaya makanan dan ciri khas suku sasak Lombok NTB. Macam Macam Tradisi dan Budaya di Lombok Arsip Budaya. MAKALAH KEBUDAYAAN SUKU SASAK LOMBOK Khoirul Umam. Tari Oncer Tarian Tradisional Suku Sasak di Lombok NTB. SUKU SASAK DI LOMBOK ragam budaya bangsa indonesia. Tradisi Bau

Wayang sebagai warisan budaya dapat musnah jika tidak ada penghargaan yang cukup baik dari masyarakat dan pemerintah terhadap pelaku seni wayang. Dalang sebagai pemain utama dalam wayang sebagai pemilik hak terkait di pementasan wayang perlu mendapatkan jaminan perlindungan hak ekonomi ketika acara itu disiarkan di media elektronik sehingga mereka masih bisa mendapatkan pendapatan yang cukup meskipun jadwal acara berkurang sebagai hasil dari pengembangan media elektronik dan telekomunikasi Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free UPAYA MENCEGAH HILANGNYA WAYANG KULIT SEBAGAI EKSPRESI BUDAYA WARISAN BUDAYA BANGSA Mari KusbiyantoAbstract Puppet as cultural heritage can be destroyed if no awards are pretty good of society and the government against the perpetrators of the puppet art. Performers puppet puppeteer particularly as related rights owners of the staging puppet needs to obtain assurance economic acquired rights when the show was broadcast in the electronic media so that they can still earn enough income even though the show schedule is reduced as a result of the development of electronic media and telecommunications Keywords puppet, protection, puppeteer Abstrak Wayang sebagai warisan budaya dapat musnah jika tidak ada penghargaan yang cukup baik dari masyarakat dan pemerintah terhadap pelaku seni wayang. Dalang sebagai pemain utama dalam wayang sebagai pemilik hak terkait di pementasan wayang perlu mendapatkan jaminan perlindungan hak ekonomi ketika acara itu disiarkan di media elektronik sehingga mereka masih bisa mendapatkan pendapatan yang cukup meskipun jadwal acara berkurang sebagai hasil dari pengembangan media elektronik dan telekomunikasi Kata kunci wayang, perlindungan, dalang I. Pendahuluan Sebuah peningalan budaya dapat tumbuh dan berkembang apabila ada pelaku yang terus berkarya, ada kelompok masyarakat yang mencintai budaya dan ada pemerintah yang melindungi dan memberikan fasilitas terselengaranya pementasan budaya tersebut. Wayang kulit sebagai peninggalan budaya juga memerlukan ketiga faktor tersebut untuk dapat terus tumbuh di masyarakat. Seni budaya wayang yang pada masa awal perkembangannya berjumlah cukup banyak hingga ratusan jenis saat ini tinggal berjumlah 25 yang masih ada di masyarakat. Musnahnya seni budaya wayang tersebut disebabkan karena tidak adanya pelaku yang memainkan pertunjukan di masyarakat. Pelaku seni memainkan peran yang sangat vital dalam keberadaan budaya wayang kulit sehingga apabila pelaku seni tidak mendapatkan hasil Penulis adalah Advokat pada Kusbiyanto & Co Law Office, Jakarta. Alamat kontak marikus76 590 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 Oktober-Desember 2015 yang cukup untuk membiayai kebutuhan hidupnya dia akan meningalkan profesinya tersebut. Keberadaan wayang tidak bisa dilepaskan dari tokoh sentral dari sebuah pertunjukan wayang yaitu Dalang. Dalang adalah seseorang yang memainkan wayang dan bertugas sebagai pemimpin pertunjukan. Dalang yang terkenal antara lain Alm. Ki Nartosabdo, Ki Anom Surata, Ki Manteb Sudarsono, Ki Entus Susmana, Ki Purba Asmara, Alm Ki Hadi Sugita, Alm Ki Timbul Hadiprayitna, Ki Gina Purwacarita. Masing-masing dalang tersebut mempunyai ciri khas dalam memainkan wayang yang membuat masyarakat menyukai setiap pertunjukan wayang yang setiap pertunjukan yang dilakukan, Dalang mempunyai hak yang dilindungi oleh HaKI yaitu hak terkait yang memungkinkan Dalang mendapatkan manfaat ekonomi atas setiap penayangan pertunjukannya di media baik radio,televisi maupun internet. Sebelumnya Dalang hanya mendapatkan manfaat ekonomi hanya dari setiap pertunjukan yang diselengarakannya yang hanya sekali didapat yaitu pada saat pertunjukan saja. Hadirnya undang-undang hak cipta nomor 28 Tahun 2014 memberikan hak pada dalang maupun pememegang hak terkait untuk mendapatkan manfaat ekonomi bukan hanya pada saat pagelaran namun juga pada saat pagelaran tersebut disiarkan oleh media baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu berupa royalti yang dapat dinikmati oleh bukan hanya dirinya namun juga ahli warisnya. Adanya royalti akan mendorong dalang dan penerusnya untuk terus berkarya sehingga wayang akan terus ada dan berkembang dari masa kemasa karena masalah utama musnahnya wayang adalah karena sedikitnya manfaat ekonomi yang diperoleh oleh pelaku wayang. II. Kaderisasi Dalang dan Perkembangan Pementasan Wayang Kulit di wilayah Jawa Indonesia kaya akan berbagai jensi wayang, menurut laporan Sekretarian Pewayangan Indonesia SENAWANGI terdapat 100 jenis wayang yang tersebur di Nusantara. Namun demikian hingga sekarang jenis wayang yang masih hidup dan bertahan di tengah-tengah masyarakat dapat dihitung dengan jari, antara lain seperti wayang kulit purwa, wayang golek Sunda, wayang Sasak NTB, wayang Bali, wayang golek Jawa, wayang Jawa Timur. Jenis-jenis wayang lain sudah jarang dipentaskan, bahkan menuju kepunahan, seperti wayang madya, wayang gedog, wayang klitik, wayang beber dan wayang kulit purwa Jawa sebelum Indonesia merdeka khususnya diwilayan surakarta mendapat pembinaan dari keraton, hal itu Ferdi Arifin, Wayang Kulit sebagai media pendidikan Budi Pekerti, ―Jurnal Sejarah dan Budaya‖, Jantra , Vol. 8, No. 1, Juni 2013, hal. 75. Guritno, P., Wayang, ―Kebudayaan Indonesia dan Pancasila‖, Jakarta Universitas Indonesia Press, 1988, hal. 48. Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari 591 ditanai dengan berdirinya pendidikan dalan yang disebut Pasinaon Dhalang Surakarta Padhasuka, atas prakarsa Paku Buwana X 1983-1939 yang berdiri tahun 1923. Berkat lulusan Padhasuka maka pedalangan gaya keraton atau Surakarta dapat disebarluaskan oleh aluminya antara lain seperti Pujasumarta, yang lulus dari Padhasuka tahun 1933, yang dalam pementasannya sangat menghormati kaidah-kaidah pedalangan gaya keraton, sehingga membawa dampak terhadsap dalang-dalang yang lain dan menyebar keseluruh wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Demikian pula Pura Mangkunegaran di bawah kepemimpinan Mangkunegara VII mendirikan pendidikan dalang yang dinamai Pasinaon Dhalang Mangkunegaran PDMN pada tahun 1931, yang melahirkan dalang tenar seperty Wignyasutarna yang menyebarluaskan gaya Mangkunegaran ke wilayan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kedua dalang tersebut Pujasumarta dan Wignyasutarna menjadi dalang yang paling populer dan disenangi masyarakat pada waktu itu 1940-1960, bahkan menjadi dalang kesayangan Presiden Republik Indonesia yang pertama yaitu Ir. Soekarno. Selanjutnya diikuti dalang-dalang lain yang juga mengembangkan dan menyebarluaskan pakeliran gaya Surakarta ke masyarakat pendukung pewayangan seperti Nyatacarita, Arjacarita, Warsina, Panut Darmoko. Dengan demikian pedalangan wayang kulit purwa gaya Surakarta berkembang luas berkat para lulusan Padhasuka dan PDMN, bahkan menjadi panutan dan kiblat para dalang-dalang pemula maupun para dalang yang berada di luar Surakarta. Di keraton Yogyakarta juga mendirikan pendidikan formal dalang yang dinamai Hambiwarakake Rancangan Andhalang disingkat Habhirandha, yang didirikan atas prakarsa Hamengkubuwana VIII 1912-1939, yang berdiri tahun 1925. Lulusan Habhirandha yang menjadi dalang tenar dan diterima oleh masyarakat antara lain Timbul Hadiprayitno. Dalang Timbul yang menyebarluaskan gaya pakeliran keraton Yogyakarta atau gaya Mataraman ke seluruh Jawa Tengah, DIY, dan di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Kemudian disusul dalang – dalang lain seperti Suparman, Hadi Sugita dan lain-lainnya. Dengan demikian perkembangan wayang kulit purwa Jawa didominasi dua gaya, yaitu gaya Surakarta dan gaya Yogyakarta yang tersebar luas ke seluruh Nusantara bahkan ke mancanegara atau ke tingkat nasional maupun tingkat internasional. Pada tahun 1950-1960 wayang kulit purwa Jawa baik gaya Surakarta dan Yogyakarta mengalami perkembangan yang luas baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif, dan gaya keraton masih menjadi panutan para dalang pada umumnya. Di samping wayang kulit, wayang golek Jawa juga hidup di tengah masyarakat terutama di daerah Sentolo Yogyakarta, Kebumen dan daerah pesisiran seperti di Tegal, Pekalongan. Disisi lain wayang madya dan wayang gedog masih sering dipentaskan terutama di keraton Surakarta dan di pura Mangkunegaran. Pada era itu dalang yang mendapat tempat di masyarakat dan 592 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 Oktober-Desember 2015 sangat terkenal antara lain Pujasumarta dari Klaten, Nyatacarita dari Kartasura, Arjacarita, Wignyasutarna, Warsina Gunasukasna. Kehidupan seni pertunjukan wayang di tengah masyarakat di samping menyertai reite de passages juga menyertai upacara seremonial seperti peresmian gedung baru, pembukaan jembatatan menyertai ritual desa bersih desa, nyadranan, suran, sedekah laut, ruwatan dan sebagainya. Kepopuleran para dalang tersebut di atas makin menurun setelah Nartasabda muncul pada tahun 1957/1958. Dalang Nartasabda tampil dengan gaya pedalangan yang berbeda dengan kaidah pedalangan keraton walaupun ia menganut pakeliran gaya Surakarta, bahkan para guru-guru dalang yang diserap Nartasabda seperti Pujasumarta, Wignyasutarna, pakelirannya murni gaya keraton Surakarta dan gaya Mangkunegaran. Nartasabda meramu gaya pedalangan para dalang ternama seperti humornya meniru Nyatacarita, sabet menuri Arjacarita, sedangkan catur dan dramatik serta sanggit meniru Pujasumarta dan Wignyasutarna. Kehadiran Nartasabda dalam jagad pedalangan memberi warna tersendiri pada wauju pakeliran wayang gaya pedalangan yang mencakup janturan, genem, pocapan, banyol, gendhing-gendhing, sulukan dan sanggit berbeda dengan pakeliran pada umumnya. Menurut Nartasabda pakelirannya disesuaikan dengan prekembanan zaman dan perubahan masyarakat, maka karya pakelirannya disebut pedhalangan gaya baru. Ia yang memadukan gaya pakeliran Surakarta dan gaya pakeliran Mataraman pertama kali, bahkan mencampur adukan gendhing wayangan Surakarta dengan gendhing wayangan Yogyakarta, sulukan, dhodogan dan keparakan gaya Mataraman terutama pada agegan gara-gara. Garapan pakeliran Nartasabda menimbulkan barbagai komentar dari para pendukung pewayangan antara lain dikatakan bahwa, pembaharuan yang hebat dalam jagad pedalangan dirintis oleh Nartasabda, serta ia mumlai gaya lucu untuk narasi bahkan dari awal pertunjukan atau jejer sudah mamasukan humor. Walaupun gaya pedalangannya menimbulkan pro dan kontra di kalangan para pendukung wayang, tetapi ia mendapat sambutan di tengah-tengah masyarakat, bahkan gaya pedalangannya sebagai kiblat para dalang yunior dan para dalang generasi penerus. Pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1986 Nartasabda berada di puncak ketenarannya yang membuat kehidupan jagad pewayangan lebih semarak dan berkembang, terutama wayang kulit yang mengambil cerita Mahabarata. Jagad pedalangan pada waktu itu tidak hanya menggarap masalah esensi lakon atau masalah kejiwaan saja, tetapi pedalangan juga dititipi pesan-pesan dari pemerintah terutama yang menyangkut kebijakan pemerintah atau pesan-pesan yang berupa propaganda untuk kepentingan golongan tertentu. Maka dunia pewayangan semakin semarak dan hidup subur di tengah masyarakat pendukung wayang, tidak hanya sebagai hiburan rohani tetapi juga sebagai media hiburan, penerangan, alat propaganda, pendidikan dan juga alat dakwah. Bentuk wayang yang lain seperti wayang golek Jawa, wayang madya, wayang gedog, wayang klitik semakin tersisih dari tengah-tengah masyarakat oleh karena wayang-wayang itu tidak fleksibel seperti wayang kulit purwa. Di Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari 593 samping itu jeis-jenis wayang itu kurang dikenal oleh masyarakat bahkan sumber ceritanya kurang dipahami oleh pendukung wayang, karena wayang madya mengambil cerita dari Serat Pustaka Raja Purwa, wayang gedog ceritanya mengambil dari cerita Panji; dan wayang Golek jawa ceritanya mengambil dari Serat Menak; wayang krucil mengambil dari Serat Damarwulan, sedangkan wayang kulit ceritanya mengambil dari Mahabarat atau Ramayana yang tokoh-tokohnya sangat akrab dan dikenal dimengerti oleh masyarakat luas pendukung wayang, terutama tokoh-tokoh Pandawa dan Korawa. Pada tahun 1990, pertunjukan wayang kulit mengalami perubahan yang mendasar, yaiut munculnya garapan wayang yang disajikan oleh dua sampai tiga dalang atau wayang layar panjang yang menyajikan satu lakon tetapi dilakukan oleh tiga orang dalang. Posisi para swarawati atau pesindhen duduk di tengah-tengah selanya layar atau kelir, dan instrumen gamelan yang untuk mengiringi tidak hanya gamelan slendro dan pelog, tetapi ditambah instrumen non gamelan seperti drum, keyboard, dan lain sebagainya. Demikian pula ditambah penyanyi dan pelawak yang ikut dalam pertunjukan wayang bahkan para penari. Pertunjuka wayang seperti ini dipelopori oleh Ganasidi Lembaga pembina seni pedalangan Jawa Tengah yang dinamakan wayang pantap. Dengan demikian perkembangan wayang kulit di Jawa semakin semarak dan rame terutama untuk fungsi yang bersifat hedonistik atau hiburan sesaat. Garapan pakeliran seperti ini tampaknya terus berlanjut bahkan terus diikuti oleh para dalang yunior, bahkan menjadi model pertunjukan wayang dewasa ini. Setiap pertunjukan wayang di daerah maupun di kota yang dilakukan oleh dalang yang sudah laku atau baru pemula selalu menggunakan musik non gamelan, memasukan pelawan dan penyanyi, bahkan musik campur sari juga masuk dalam pertunjukan waktu seni pertunjukan wayang didukung oleh raja atau penguasa government support, terbentuk tradisi pedalangan gaya keraton yang dikukuhkan dalam pendidikan formal dalang seperti Padhasuka dan Habirandha seperti Padhasuka dan Habirandha. Seiring dengan perubahan sosial yang terjadi bahwa, pertunjukan wayang dewasa ini didukung oleh masyarakat communal support, artinya masyarakat yang menghidupi dan menanggap wayang untuk berbagai kepentingan seperti menyertai perkawinan, khitanan, ulang tahun, syukuran dan sebagainya. Dengan demikian pedalangan yang didukung oleh masyarakat akan melahirkan gaya pedalangan yang baru yang sesuai dengan selera masyarakat. Hal itu juga dikatakan oleh Arnold Hauser dalam bukunya The Sociology of Art 1974, yang menyatakan bahwa, seni merupakan produk masyarakat maka pandangan masyarakat tertentu akan mempengaruhi wujud seni yang dihasilkan oleh masyarakat itu. Bertolak dari pemikiran Hauser, maka pertunjukan wayang kulit purwa Jawa juga Hasrinuksmo B., ―Ensiklopedi Wayang Indonesia‖, Jakarta Sena Wangi, 1999, hal. 64. 594 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 Oktober-Desember 2015 mengalami perubahan baik dari teknis pakelirannya, maupun tanggapan penonton terhadap ertunjukan wayang. Hal ini terjadi karean wayang merupakan bagian dari kebudayaan tidak luput dari pengaruh kebudayaan modern, dan tidak jarang bentuk-bentuk kesenian termasuk wayang diciptakan untuk kebutuhah praktis dan mengikuti selera pasar serta kurang memperhatikan nilai estetis. Fenomena yang terjadi dalam jagad pedalangan sekaran ini mengisyaratkan adanya pergeseran cara pandang masyarakat baik para pelaku wayang dalang, maupun penonton dalam menyikapi pertunjukan wayang. Bentuk pakeliran wayang dewasa ini yang dikemas untuk kepentingan massa, harus menyesuaikan dengan selera penonton yang telah mengalami perubahan, karean pertunjukan wayang merupakan akulturasi antara selera estetis penonton dengan selera estetis dalang. Dampak dari pergeseran pertunjukan wayang dewasa ini, maka terjadi kekaburan nilai-nilai, nilai lama telah ditinggalkan, sedangkan nilai-nilai baru belum mantap fungsinya bahkan belum ditemukan, hal itu tercermin dalam setiap pertunjukan wayang kulit masa kini. Berdasarkan pengamatan di lapangan bahwa sajian pakeliran wayang dewasa ini ada kecenderungan makin berkembang menjadi bentuk-bentuk hiburan sebagai komoditi komersial. Dengan demikian pertunjukan wayang dewasa ini secara kuantitas masih menggembirakan , walaupun diterpa oleh arus modernisasi dan kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi. Pakeliran wayang masih tetap eksis di tengah-tengah masyarakat pendukungnya walaupun dalam sajiannya aspek yang bebentuk sakral, magis dan simbolis serta kadnungan nilai artistik, nilai kultural dan nilai moral religius tampak semu. Pertunjukan wayang kulit purwa tradisi baik gaya Surakarta maupun gaya Yogyakarta hingga sekarang masih segar, hidup di tengah masyarakat pendukung budaya Jawa oleh karena adanya fkator internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang datang dari para senimannya atau para pelaku wayang selalu berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, ia mencoba membuat garapan baru atau pengembangan wayang baru. Hal itu ditandai dengan munculnya bentuk-bentuk pertunjukan wayang, seperti bentuk pakeliran wayang padat, wayang layar lebar, wayang sandosa, wayang multimedia, wayang kemasan dan sebagainya. Hal itu di dukung dengan hadirnya pendidikan formal dalang yang berbentuk akademis seperti Institut Seni Indonesia yang memiliki program studi seni pedalangan. Sedangkan faktor eksternal yang datang dari para penonton atau pendukung wayang, mereka beranggapan bahwa pertunjukan wayang di dalamnya terkandung nilai-nilai historis, nilai filosofis, pedagogis dan niali simbolis. Bahkan mereka memandang bahwa pertunjukan wayang merupakan pandangan hidup masyarakat Jawa terutama lakon yang mengisahkan Pandawa dan Korawa. Sedangkan menurut peniliti asing B. Anderson bahwa mitologi wayang berkaitan dengan eksistensial orang Jawa. Bagai para politikus dan para pengambil kebijakan pemerintah bahwa pertunjukan wayang kulit merupakan media yang ampuh untuk menyebar luaskan ide-ide pembangunan, maupun untuk mempengaruhi aspirasi politik untuk golongan partai tertentu. Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari 595 Pertunjukan wayang ternyata juga mengalami perubahan menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dari yang semula ketat akan aturan-aturan menjadi longar mengikuti trend yang ada agar disukai oleh masyarakat. Semua perubahan tersebut tidak lepas dari faktor ekonomi, bila pertunjukan disukai masyarakat maka banyak masyarakat akan melihat pertunjukan baik secara langsung dalam sebuah pagelaran wayang kulit maupun melalui media elektronik dan ketika pertunjukan banyak dilihat dan diliput dalang akan mendapatkan banyak penghasilan dari kegiatan pementasan dan peliputan tersebut. III. Pertunjukan Wayang Kulit Seni memainkan wayang yang biasa disebut pagelaran, merupakan kombinasi harmonis dari berbagai unsur kesenian. Pada pagelaran wayang kulit dituntut adanya kerjasama yang harmonis baik unsur benda mati maupun benda hidup manusia. Unsur benda mati yang dimaksud adalah sarana dan alat yang digunakan dalam pagelaran wayang kulit. Sementara unsur benda hidup manusia adalah orang-orang yang berperan penuh dalam seni pagelaran wayang kulit. 1. Unsur Benda Unsur benda yang ada dalam pagelaran wayang kulit adalah alat-alat yang berupa benda tertentu yang digunakan dalam pagelaran wayang tersebut. Bahkan terdapat unsur materi yang harus ada karena tidak bisa digantikan. Unsur materi yang dimaksud antara lain wayang yang terbuat dari kulit lembu, kelir, debog batang pohon pisang, seperangkat gamelan, keprak, kepyak, kotak wayang, cempala, dan blencong. Seperangkat alat tersebut harus ada, karena alat-alat tersebut tidak bisa digantikan. Akan tetapi pada perkembangan zaman ada modifikasi atau pengubahan yang bibuat berdasar kebutuhan atau kreatifitas seniman, namun keberadaan wayang dan kelir tidak bisa ditinggalkan. 1 Wayang kulit Jawa tentunya terbuat dari kulit. Pada umumnya terbuat dari kulit sapi namun ada juga yang dibuat dari kulit kambing. Proses pembuatannya pun cukup lama, mulai dari direndam lalu di gosok terus dipentang supaya tidak kusut kemudia dibersihkan bulu-bulunya. Baru setelah itu diberi pula untuk kemudian ditatah sesuai dengan gambar pola, dan terakhrir diwarnai. Jadilah wayang hasil kreasi seni pahat dan seni lukis. 2 Gamelan adalah seperangkat alat musik perkusi dan petik serta gesek yang mengiringi pagelaran wayang. Jumlahnya sangat banyak. Macam gamelan antara lain bonang, gambang, gendang, gong, siter, kempul, dll. Gamelan dimainkan secara bersama- 596 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 Oktober-Desember 2015 sama membentuk alunan musik yang biasa disebut gending. Inilah seni kreasi musik dalam pagelaran wayang. 3 Kelir adalah layar lebar yang digunakan pada pertunjukan wayang kulit. Pada rumah Joglo, kelir di pasang pada bagian „pringgitan‟. Bagian ini merupakan bagian peralihan dari pada ranah publik, pendopo dengan ranah privat, ndalem atau nggandok. Oleh karena itu penonton wayang kulit yang tergolong keluarga, pada umumnya nonton di bagian dalam ndalem, yang sering dianggep nonton mburi kelir. Nonton di belakang kelir ini memang benar-benar „wewayangan‟, atau bayang-bayang. Lihat buku „Aspek Kebudayaan Jawa Dalam Pola Arsitektur Bangunan Domestik dan Publik‟ Subanindyo, 2010. Dari sinilah pengaruh blencong yang seolah-olah „menghidupkan‟ wayang akan dapat terlihat lihat Blencong. Penonton juga tidak terganggu oleh adanya gamelan. Bagi penonton publik, mereka menonton didepan kelir, sehingga selain dapat melihat keindahan dari pada peraga wayang itu sendiri, oleh karena tatah dan sungging-nya, berikut simpingannya, juga dapat menyaksikan deretan pesinden atau waranggana manakala ada. Sayang, menyaksikan dari sisi ini selain tak dapat menyaksikan pengaruh blencong, dimana wayang seolah-olah menjadi hidup, juga terkadang terhalang oleh gamelan, terutama gayor untuk kempul dan gong. 4 Debog adalah batang pisang yang digunakan untuk menancapkan wayang simpingan. Di simping artinmya dijajar. Baik yang dimainkan maupun yang yang dipamerkan display, digunakan „debog‟. Barang tentu untuk ―menancapkan‖ wayang yang di-display juga ada aturan-aturan tertentu. Mana wayang yang harus ada disebelah kanan ki dalang, mana pula yang harus berada disebelah kirinya. Tugas „menyimping‟ ini sesungguhnya tidak terbatas hanya memasang wayang yang harus di-display, akan tetapi juga mempersiapkan segala sesuatu keperluan dalang. Misalnya menyediakan wayang-wayang yang akan digunakan play sesuai urutan adegannya, menempatkan kotak wayang berikut keprak dan kepyaknya, menyediakan cempala, memasang dan menyalakan maupun mengatur sumbu blencong, lampu minyak yang khas digunakan dalam pertunjukan wayang kulit, dan lain-lain. Sekali-sekali juga membantu pelayanan konsumsi makan minum, rokok untuk dalang. Untuk penyiapan ini terkadang dibantu oleh anak-anak muda sebagai salah satu media pendidikan untuk mengenali dan akhirnya mencintai wayang. 5 Blencong adalah lampu minyak minyak kelapa – lenga klentik yang khusus digunakan dalam pertunjukan wayang kulit. Design-nya juga khusus, dengan cucuk paruh dimana diujungnya akan menyala api sepanjang malam. Oleh karenanya Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari 597 seorang penyimping harus mewaspadai pula keadaan sumbu blencong tersebut manakala meredup, atau bahkan mati sama sekali. Tak boleh pula api itu berkobar terlampau besar. Karena akan mobat-mabit. Kalaupun lampu penerangan untuk dalang pada masa sekarang sudah menggunakan listrik, sesungguhnya ada fungsi dasar yang hilang atau dihilangkan dari penggunaan blencong tersebut. Oleh karena blencong adalah lampu minyak, maka apinya akan bergoyang manakala ada gerakan-gerakan wayang, lebih-lebih waktu perang, yang digerakkan oleh ki dalang. Ada kesan bahwa ayunan api kumlebeting agni dari blencong itu seolah-olah memberikan nafas dan atau menghidupkan wayang itu sendiri. Hal yang tak terjadi manakala penerangan menggunakan listrik atau tromak petromax. Saat ini blencong sudah jarang digunakan. Dianggap kurang praktis dan merepotkan. 6 Kotak wayang berukuran 1,5 meter kali 2,5 meter ini akan merupakan peralatan dalang selain sebagaimana sudah diutarakan merupakan tempat menyimpan wayang, juga sebagai „keprak‟, sekaligus tempat menggantungkan „kepyak‟. Dari kotak tempat menyimpan wayang ini juga akan dikeluarkan wayang, baik yang akan ditampilkan maupun yang akan di-simping. Di-simping artinya dijajar, di-display di kanan dan kiri layar kelir yang ditancapkan di debog batang pisang. Kotak akan ditaruh dekat dalang, di sebelah kiri, dan ditentang yang dekat dalang ditempatkan kepyak. Sedang kepraknya justru bagian dari kotak yang dipukul dengan cempala. Keprak adalah suara dhodhogan sebagai tanda, disebut sasmita, dengan jenis tertentu diwujudkan pemukulan pada kotak dengan menggunakan cempala. Sementara pada kepyak, berupa tiga atau empat lempengan logam kuningan/gangsa atau besi yang digantungkan pada kotak, juga dipukul dengan cempala, dalam bentuk tanda tertentu, juga sebagai sasmita atau tanda-tanda untuk – selain mengatur perubahan adegan – merubah, mempercepat, memperlambat, sirep, menghentikan atau mengganti lagu gendhing. Terdengar nada yang berbeda antara kepyak wayang kulit Jogya dan gaya Surakarta. 7 Cempala merupakan piranti sekaligus ‗senjata‟ bagi dalang untuk memberikan segala perintah, baik kepada wiraniyaga, wiraswara maupun waranggana. Bentuknya sangat artistik, bagaikan meru. Ia bisa dipukulkan pada kotak, sebagai keprak, bisa pula ke kepyak, tiga/empat lempengan logam yang digantungkan pada kotak wayang. Pada saat ke dua tangan dalang sedang memegang wayang – dan ini yang unik – maka tugas untuk membunyikan keprak maupun kepyak, dengan tetap menggunakan cempala, dilakukan oleh kaki kanan ki dalang. 598 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 Oktober-Desember 2015 Cempala – dengan desain sedemikian rupa itu – akan dijepit di antara ibu jari dan jari telunjuk berikutnya. Menggunakan cempala memerlukan latihan untuk memperoleh tingkatan ketrampilan tertentu. Memukul kotak dengan cempala, Ki Dalang dapat memilih berbagai kemungkinan pembangun suasana dengan dhodhogan, seperti ada-ada, pathetan, kombangan. Dapat pula sebagai perintah kepada karawitan untuk mengawali, merubah, sirep, gesang atau menghentikan gamelan. Juga dapat digunakan untuk memberikan ilustrasi adegan, seperti suara kaki kuda, suara peperangan dan lain-lain. Artinya, ketika ke dua belah tangan ki dalang sedang memainkan wayang, maka keprak atau kepyak dapat juga berbunyi. Suatu keprigelan yang jarang dapat dilihat oleh para penonton wayang, karena biasanya ia sedang asyik mengikuti adegan yang ditampilkan di kelir layar. Padahal untuk mencapai tingkat keprigelan tersebut, seorang dalang harus melakukan latihan-latihan yang intensif. Betapa tidak, keempat anggota badan, tangan dan kaki harus terus bergerak, sementara pikiran dan pandangan terfokus pada apa yang dilakukannya di layar/kelir. 2. Unsur Manusia Dalang, penyimping, penabuh, dan sinden adalah orang-orang yang berperan penting dalam kelancaran dan keberhasilan sebuah pagelaran wayang. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kemahiran khusus dalam bidangnya masing-masing. Berkat kemahiran khusus tersebut, terkadang mereka tidak bisa digantikan oleh sembarang orang. 1 Dalang adalah sutradara, pemain, artis, serta tokoh sentral dari pada suatu pertunjukan wayang. Tanpa dalang, maka pertunjukan wayang itu tidak ada. Apalagi untuk dalang pada pertunjukan wayang kulit. Komunikasi antara dalang dengan unit pendukung, perlengkapan dan peralatan pertunjukan wayang merupakan komunikasi yang unik. Melalui segenap indera yang dimilikinya, ia berkomunikasi dengan kompleksitas orang dan peralatan yang lazim digunakan dalam suatu pertunjukan wayang. Tanpa suatu skenario yang dipersiapkan terlebih dahulu, namun wayang tampil secara spontan, kompak dan tidak pernah mengalami „out of order‟, semalam suntuk. Sungguh suatu bentuk teater yang ―aneh‖ karena meskipun tanpa suatu skenario - padahal dalang dapat memilih beratus lakon atau cerita baku babon-pakem, carangan, anggitan sanggit – tontonan dapat berjalan mulus dari jejeran sampai tancep kayon. 2 Penyimping adalah orang yang membantu dalang dalam menyiapkan wayang yang di jajar disimping pada debog Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari 599 simpingan. Tugas ‗menyimping ini sesungguhnya tidak terbatas hanya memasang wayang yang harus di-display, akan tetapi juga mempersiapkan segala sesuatu keperluan dalang. Misalnya menyediakan wayang-wayang yang akan digunakan play sesuai urutan adegannya, menempatkan kotak wayang berikut keprak dan kepyaknya, menyediakan cempala, memasang dan menyalakan maupun mengatur sumbu blencong, lampu minyak yang khas digunakan dalam pertunjukan wayang kulit, dan lain-lain. Sekali-sekali juga membantu pelayanan konsumsi makan minum, rokok untuk dalang. Untuk penyiapan ini terkadang dibantu oleh anak-anak muda sebagai salah satu media pendidikan untuk mengenali dan akhirnya mencintai wayang. 3 Panjak adalah orang yang bertugas memainkan gamelan. Orang-orang yang bertugas sebagai penabuh gamelan harus mempunyai kemahiran khusus dalam memainkan lagu gendhing sesuai dengan permintaan si dalang. Permintaan si dalang tentunya tidak verbalistik, namun penabuh gamelan diharuskan memahami isi cerita/lakon wayang dan gendhing yang dimainkan hendaknya diselaraskan dengan lakon cerita wayang. Hal inilah menuntut ketajaman intuisi bagi penabuh gamelan dalam pagelaran wayang, karena dalam pagelaran wayang tidak disediakan notasi musik dalam memainkan gamelan. Semuanya menggunakan intuisi seniman. 4 Waranggana adalah penyanyi wanita dalam seni karawitan yang dimainkan dalam pagelaran wayang kulit. Lazim juga disebut pesinden. Penyanyi ini selain harus mempunyai kemahiran dalam menyanyi dengan suara yang merdu, namun juga ketahanan fisik yang prima. Hal ini diperlukan karena biasanya pagelaran wayang kulit itu dilaksanakan semalam suntuk. Tentu harus mempunyai fisik yang sehat dan kuat untuk melantunkan lagu-lagu jawa serta menahan kantuk mulai senja hingga pagi hari. Semua unsur tersebut dipimpin dan digerakkan oleh seorang Dalang sehingga bisa menjadi pertunjukan yang menarik. Pertunjukan wayang membutuhkan semuah hal tersebut sehingga untuk setiap pementasan wayang kulit memerlukan biaya yang cukup besar. Masing-masing dalang mempunyai ciri-ciri tersendiri dalam memainkan wayang dan memimpin pertunjukan pagelaran wayang dan hal tersebut menjadi pembeda dalam setiap pertunjukan yang dilakukannya. 600 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 Oktober-Desember 2015 IV. Hak Ekonomi Dalang Dalam Pertunjukan Wayang Kulit Dalang sebagai pelaku utama dari sebuah pertunjukan wayang kulit memiliki hak yang diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta yaitu hak terkait. Hak terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta yang merupakan hak ekslusif bagi pelaku pertunjukan, producer fonofram, atau lembaga penyiaran Pasal 1 ayat 4. Hak terkait memberikan hak kepada Dalan untuk dapat melaksanakan sendiri, memberikan izin, atau melarang pihak lain untuk melakukan Pasal 23 ayat 2 a. Penyiaran atau Komunikasi atas pertunjukan Pelaku Pertunjukan; b. Fiksasi dari pertunjukannya yang berlum difiksasi; c. Penggandaan atas Fiksasi pertunjukannya dengan cara atau bentuk apapun d. Pendistribusian atas Fiksasi pertunjukan atau salinannya e. Penyewaan atas fiksasi pertunjukan atau salinannya kepada publik; dan f. Penyediaan atas Fiksasi pertunjukan yang dapat diakses publik Untuk mendapatkan haknya tersebut tentu Dalang dapat memberikan kuasa kepada pihak lain untuk mengawasi pihak yang mempergunakan hak terkait yang dimilikinya dan meminta serta mengumpulkan royalti atas pengunaan hak terkait tersebut. Pihak yang dapat diberikan kuasa oleh Dalang untuk mendapatkan haknya tersebut adalah Lembaga Manajemen Kolektif Nasional. Lembaga Manajemen Kolektif Nasional merupakan Lembaga yang diamanatkan oleh Undang-undang Hak Cipta yang baru, yaitu Undang-undang No. 28 Tahun 2014 selanjutnya disebut UUHC 2014. Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta disebutkan bahwa Lembaga Manajemen Kolektif adalah institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalty. Bahwa ketentuan tentang Lembaga Manajamen Kolektif disebutkan didalam UUHC 2014 diterangkan bahwa "Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial". Dan Pengguna Hak Cipta dan Hak Terkait yang memanfaatkan Hak harus membayar Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait, melalui Lembaga Manajemen Kolektif. Sebenarnya bagaimanakah prosedur untuk mendirikan Lembaga Manajemen Kolektif menurut UUHC 2014. Bahwa menurut ketentuan UUHC 2014 diterangkan bahwa Izin operasional Lembaga Manajemen Kolektif harus memenuhi syarat a. berbentuk badan hukum Indonesia yang bersifat nirlaba; Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari 601 b. mendapat kuasa dari Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti; c. memiliki pemberi kuasa sebagai anggota paling sedikit 200 dua ratus orang Pencipta untuk Lembaga Manajemen Kolektif bidang lagu dan/atau musik yang mewakili kepentingan pencipta dan paling sedikit 50 lima puluh orang untuk Lembaga Manajemen Kolektif yang mewakili pemilik Hak Terkait dan/atau objek Hak Cipta lainnya; d. bertujuan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti; dan e. mampu menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait. Royalty menurut UUHC 2014 adalah imbalan atas pemanfaatan Hak Ekonomi suatu Ciptaan atau Produk Hak Terkait yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak terkait. Sedangkan Lisensi adalah izin tertulis yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak Terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas Ciptaannya atau produk Hak Terkait dengan syarat tertentu. Dan sebagaimana diketahui bersama di Indonesia memang sudah ada Lembaga Manajemen Kolektif sebagai lembaga yang bertugas untuk menghimpun dan mendistribusikan royalty dari pencipta, pemegang hak cipta dan atau pemilik hak terkait, Lembaga Manajemen Kolektif yang sekarang sudah ada diantaranya adalah YKCI, WAMI dan Lembaga Manajemen Kolektif selanjutnya disebut LMK lainnya yang secara Legal sudah terdaftar dan mewakili kepentingan pencipta, pemegang hak cipta dan atau pemilik hak terkait. Lembaga Manajemen Kolektif merupakan kepanjangan tangan dari Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait untuk menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial, sehingga mereka mendapatkan pemanfaatan ekonomi terhadap karya cipta mereka yang digunakan dan dimanfaatkan secara komersiil. Bahwa UUHC 2014 didalam Pasal 10 disebutkan bahwa; Pengelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya. Ketentuan Pasal 10 dimaksudkan bahwa setiap pusat perdagangan baik itu dalam skala kecil maupun besar mall harus bisa mengontrol dan mencegah setiap jenis usaha yang ada didalamnya yang menggunakan atau memanfaatkan hak-hak yang terdapat didalam hak cipta yang pemanfaatannya secara komersiil harus tunduk terhadap ketentuan UUHC 2014. Kepatuhan untuk tertib didalam ketentuan UUHC 2014 tersebut diakses tanggal 10 Desember 2015. 602 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 Oktober-Desember 2015 diharapkan bisa melindungi pencipta dan pemilik hak terkait serta pemegang hak cipta dari tindakan-tindakan pemanfaatan atas hak-hak mereka secara tidak benar tidak mendapatkan izin. Dan ketentuan Pasal 10 ini juga menekankan bahwa bahwa setiap tempat usaha yang berada dilingkup tempat perdagangan, misalnya restoran, cafe, dan usaha lainnya yang sejenis yang memanfaatkan hak cipta dalam bentuk hak terkait untuk kepentingan komersiilnya, harus benar-benar sudah sesuai dengan ketentuan UUHC 2014. Lembaga Manajemen Kolektif yang ada saat ini baru ada untuk karya cipta yang berbenuk lagu sehingga perlu dibentuk Lembaga Manajemen Kolektif yang menjadi kepanjangan tangan dari Dalang untuk memperoleh haknya. Memang diakui bila saat ini stasiun televisi dan tempat-tempat hiburan yang menayangkan pertunjukan wayang kulit masih jarang sehingga belum ada yang membentuk lembaga tersebut. Peran pemerintah dalam hal ini sangat diperlukan untuk mendorong disiarkannya penayangan wayang kulit di setasiun-setasiun televisi baik stasiun televisi pemerintah maupun swasta. Pemerintah dapat menjadi motor bagi gerakan mencintai budaya wayang kulit dengan menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan Dalang untuk melakukan pertunjukan seperti tempat pertunjukan, menyelengarakan acara-acara pemerintah dengan hiburan wayang kulit serta memberikan insentif kepada Dalang untuk melakukan pertunjukan. V. Wayang Kulit sebagai Ekpresi Budaya TradisionalPengertian ekspresi budaya tradisional adalah segala bentuk ekspresi, baik material benda maupun immaterial tak benda, atau kombinasi keduanya yang menunjukkan keberadaan suatu budaya dan pengetahuan tradisional yang menunjukkan keberadaan suatu budaya dan pengetahuan tradisional yang bersifat turu-temurun. Wayang kulit berdasarkan pengertian tersebut termasuk ekspresi budaya tradisional yang dimiliki olen negara Indonesia sedangkan kelompok masyarakat yang telalh memelihara, mengembangkan, memanfaatkan, atau melestarikannya disebut sebagai insan budaya. Dalam hal pengembangan wayang kulit sebagai ekspresi budaya tradisional pemerintah mempunyai wewenang untuk a. menetapkan kebijakan nasional tentang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional; b. mengoordinasikan dan melaksanakan pengembangan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional; dan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional. Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari 603 c. memfasilitasi dan memperkuat para Insan Budaya dan masyarakat dalam pengembangan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional. Pihak yang ingin memanfaatan wayang kulit seagai ekpresi budaya tradisional dapat dilakukan dengan tujuan komersial dan non komersial. Pemanfaatan secara komersial dapat diukur berdasarkan skala ekonomi tertentu berdasarkan a. komponen minimal tingkat keuntungan; b. tingkat inflasi; c. tingkat daya beli masyarakat; d. keberadaan Hak Kekayaan Intelektual. Pemanfaatan wayang kulut sebagai Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional dengan tujuan nonkomersial terdiri atas a. penelitian dalam rangka perlindungan dan pelestarian pengetahuan Tradisional dan ekspresi budaya tradisional; b. penelitian dalam rangka tujuan pendidikan; c. pemanfaatan secara tradisional oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Pembagian manfaat ekonomi dari wayang kulit dilakukan untuk a. mengembangkan pengetahuan tentang wayang kulit tersebut; b. membuka peluang bagi masyarakat dalam memperoleh manfaat ekonomi dari wayang kulit sebagai ekspresi budaya tradisional. Berdasarkan ketentuan PTEBT Pemerintah, Pemeritah Daerah, atau Pengguga wajib melakukan upaya Pelestarian Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional dengan menggunakan berbagai sumber daya, sarana, dan prasarana secara aktif. Pelestarian tersebut mencakup kegiatan inventarisasi, identifikasi, dokumentasi, penelitian, revitalisasi, dan Promosi, baik dengan menggunakan perangkat modern maupun dengan cara tradisional, termasuk melalui pendidikan formal dan nonformal. Selain kewajiban untuk melestarikan, pemerintah juga punya kewajiban untuk melindungi wayang kulit sebagai ekspresi budaya tradisional dan langkah-langkahnya meliputi pengawasan, pembinaan, gugatan perdata, pencabutan izin, atau penuntutan pidana. VI. Perlindungan Wayang Kulit Wayang kulit sebagai peningalan budaya sangat rentan untuk musnah apabila tidak ada upaya yang sungguh-sungguh untuk melestarikannya baik 604 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 Oktober-Desember 2015 oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Wayang kulit sebagai kebudayaan dapat dilestarikan dalam dua bentuk yaitu1. Culture Experience Merupakan pelestarian budaya yang dilakukan dengan cara terjun langsung kedalam sebuah pengalaman kultural. contohnya, jika kebudayaan tersebut berbentuk tarian, maka masyarakat dianjurkan untuk belajar dan berlatih dalam menguasai tarian tersebut. Dengan demikian dalam setiap tahunnya selalu dapat dijaga kelestarian budaya kita ini. 2. Culture Knowledge Merupakan pelestarian budaya yang dilakukan dengan cara membuat suatu pusat informasi mengenai kebudayaan yang dapat difungsionalisasi kedalam banyak bentuk. Tujuannya adalah untuk edukasi ataupun untuk kepentingan pengembangan kebudayaan itu sendiri dan potensi kepariwisataan daerah. Dengan demikian para Generasi Muda dapat mengetahui tentang kebudayaanya sendiri. Selain dilestarikan dalam dua bentuk diatas, wayang kulit juga dapat dilestarikan dengan cara mengenal budaya wayang kulit itu sendiri. Dengan hal ini setidaknya kita dapat mengantisipasi pencurian kebudayaan yang dilakukan oleh negara-negara lain. Penyakit masyarakat kita adalah mereka terkadang tidak bangga terhadap produk atau kebudayaannya sendiri. Kita lebih bangga terhadap budaya-budaya impor yang sebenarnya tidak sesuai dengan budaya kita sebagai orang timur. Budaya daerah banyak hilang dikikis zaman. Oleh sebab kita sendiri yang tidak mau mempelajari dan melestarikannya. Akibatnya kita baru bersuara ketika negara lain sukses dan terkenal dengan budaya yang mereka curi secara diam-diam. Selain itu peran pemerintah dalam melestarikan budaya wayang kulit juga sangatlah penting. Bagaimanapun pemerintah memiliki peran yang cukup strategis dalam upaya pelestarian kebudayaan daerah ditanah air. Pemerintah harus mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang mengarah pada upaya pelestarian kebudayaan nasional. Pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan untuk menampilkan wayang kulit pada setiap event-event akbar nasiona. Hal tersebut harus dilakukan sebagai upaya pengenalan kepada generasi muda, bahwa wayang kulit yang ditampilkan itu adalah warisan dari leluhurnya dan bukan berasal dari negara tetangga. Demikian juga upaya-upaya melalui jalur formal pendidikan. Masyarakat harus memahami dan mengetahui berbagai kebudayaan wayang kulit yang kita miliki. diakses pada tanggal 10 Desember 2015. Penyelesaian Sengketa Perselisihan Tradisional dan Ekspresi Budaya, Purnamasari 605 Selain langkah tersebut yang terpenting adalah memperhatikan kesejahteraan dari pelaku wayang kulit. Seniman yang menjalani profesi wayang kulit harus diperhatikan kesejahtaraanya, peningkatan kesejahtaraan akan mendorong pelaku seni wayang untuk merasa tenang dalam menjalani prosfesinya. Cara memperhatikan kesejahtaraan juga dapat ditempuh dengan cara mengangkat setiap Dalang yang mengisi pementasan wayang kulit secara rutin di Stasiun radio atau televisi pemerintah sebagai pegawai Pemerintah Daerah Perhatian pemerintah kepada pelaku seni juga dapat diberikan dalam bentuk menyediakan tempat untuk menyelengarakan pementasan wayang kulit. Sebagaimaan diuraikan dimuka bahwa pementasan wayang kulit hanya dilakukan apabila ada yang mengundang sehingga pementasannya tidak bisa dilakukan secara rutin. Adanya tempat untuk pementasan wayang kulit memungkinkan pementasan dapat dilakukan secara terjadwal sehingga para Dalang dapat bergantian melakukan pementasan. Peran pemerintah dalam memajukan budaya wayang kulit dapat dilakukan dengan membantu promosi terhadap kegiatan pementasan wayang kulit, juga perlu dilakukan, promosi tersebut dilakukan ke sekolah-sekolah. Sekolah dapat membuat sebuah kegiatan ekstrakulikuler yang mewajibkan siswanya untuk melihat pertunjukan wayang kulit dan mebuat laporan atas tugas tersebut. 606 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-45 Oktober-Desember 2015 Daftar Pustaka Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional. Arifin, Ferdi. Wayang Kulit sebagai media pendidikan Budi Pekerti, ‖Jurnal Sejarah dan Budaya Jantra‖, Vol. 8, No. 1, Juni 2013 75. Amir, H. Nilai-Nilai Etis Dalam Wayang, Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 1991. Guritno, P. Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Jakarta Universitas Indonesia Press, 1988. Hasrinuksmo B. Ensiklopedi Wayang Indonesia. Jakarta Sena Wangi, 1999. Ismaun, B. Peranan Koleksi Wayang dalam Kehidupan Masyarakat. Yogyakarta Depdikbud, 1990. Soedarsono. Beberapa Catatan Tentang Seni Pertunjukan Indonesia. Yogyakarta Konservatori Tari Indonesia di Yogyakarta, 1970. Walujo K. Dunia wayang. Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2000. anonim. 2008. Perlindungan warisan budaya. anonom. 2009. Makalah perubahan kebudayaan karena dari luar. luar/ ... As long as the Wayang can evolve together with the community that supports it, creatively adapt to changes whilst not losing the core heritage aesthetics, the relevance of this art form is significantly critical to overcome the efforts of facing extinction Sulanjari et al., 2020. Furthermore, the versatility of this artform has further contributed to its continued survival Kusbiyanto, 2015. These changes too are very much needed due to various factors such as economic, income generation for performers and puppeteers, tourism industries, sustainability of traditions and heritage and innovation through multimedia technology. ...Wayang Kulit or shadow theatre, an ancient theatrical performance practice has given opportunity and space for researchers to explore the possibilities of creating a stimulating environment for performance and cognitive development among cerebral palsy children. This study looks at how three important performative elements in Wayang Kulit performance, “story-telling, role-playing and space” are explored for the development of cognitive abilities; i to learn, ii to sequence and iii to reason, among cerebral palsy children. The study employs an action-research methodology which looks at participation-observation and artistic processes ranging from drama/theatre approaches to speech and vocal exercises. To assist the children in achieving the intended goals, “sensitive assistance” approach was also employed whereby teachers/facilitators assist the children during the workshop and training sessions. The cerebral palsy children were not only the participants of the workshops but more importantly, were the performers, storytellers, musicians, and puppeteers. Findings of this study show the children could, a memorize the script ability to learn, b present the script in a story-telling manner ability to sequence, c role-play to reason, and d understand the mechanism of the performative setting on and off stage. In addition, the study shows that through the sessions conducted via Wayang Kulit performance, the children learned to communicate, respond to each other, and also express themselves emotionally.... Pelestarian budaya dalam wayang suket ini juga telah digagas oleh Kusbiyanto 2015 yang mengupayakan untuk tetap eksisnya sebuah wayang. Wayang yang diteliti adalah wayang kulit. ... Meidawati SuswandariTujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan upaya untuk menjaga eksistensi wayang suket sebagai identitas budaya Kota Satria. Penulisan ini dilakukan melalui studi pustaka. Obyek penelitian ini adalah wayang suket dan identitas budaya. Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan penelusuran jurnal-jurnal yang terdapat pada beberapa media elektronik seperti digital library, internet, dengan melalui Google Cendekia. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis anotasi bibliografi annotated bibliography. Hasil penelitian menunjukan bahwa upaya untuk menjaga eksistensi wayang suket sebagai identitas budaya Kota Satria melalui pelestarian budaya dalam bentuk permainan ular tangga dengan tema wayang, gantungan kunci dibuat dari kulit seperti ingin membuat wayang, tetapi ukurannya lebih kecil, penayangan wayang suket di bioskop, dan peran pemerintah adalah mendukung penayangan wayang dengan membantu menyuplai dana dan membantu sosialisasi kepada masyarakat.... Alat musik yang paling penting dalam gamelan wayang adalah alat pukul yang bernama 'gender', selain itu dalam pementasan wayang juga diiringi oleh gamelan dan musik pengiring lainnya yang dimainkan mengikuti cerita. Bentuk pakeliran wayang dewasa ini mengikuti perkembangan dan selera penonton, karena pertunjukan wayang merupakan akulturasi selera estetis penonton dan selera estetis dalang Kusbiyanto, 2015. ...... Indonesia kaya akan berbagai jensi wayang, menurut laporan Sekretarian Pewayangan Indonesia Senawangi terdapat 100 jenis wayang yang tersebur di Nusantara. Namun demikian hingga sekarang jenis wayang yang masih hidup dan bertahan di tengah-tengah masyarakat dapat dihitung dengan jari Kusbiyanto, 2015. Menurut Mubah 2011, Jati diri bangsa sebagai nilai identitas masyarakat harus dibangun secara kokoh dan diinternalisasikan secara mendalam. ... Ilham Syahrul JiwandonoKhairunisa KhairunisaPerkembangan zaman telah menyebabkan terjadinya degradasi moral yangdialami oleh mahasiswa. Terdapat berbagai indikasi terjadinya degradasi moral di lingkungan kampus. Diperlukan berbagai upaya untuk mengantisipasi permasalahan tersebut. Banyak media yang dapat digunakan untuk menumbuhkan karakter dalam rangka mengatasi permasalahan degradasi moral, baik yang bersifat konvensional maupun modern. Salah satu media konvensional yang dapat dipakai adalah wayang, khususnya Punakawan. Banyak nilai filosofis yang terkandung dalam pertunjukan wayang yang dapat membentuk dan menumbuhkan karakter mahasiswa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan media wayang dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sebagai upaya untuk menumbuhkan karakter mahasiswa. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Lokasi penelitian di Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Mataram. Teknik pengambilan data menggunakan wawancara tidak terstruktur, observasi dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan 1 telah terjadi degradasi moral di lingkungan kampus dengan salah satu bukti hilangnya sopan santun antaran mahasiswa dan dosen. 2 media wayang merupakan media yang sangat cocok untuk membentuk karakter mahasiswa karena banyak nilai yang terkandung di dalamnya. 3 nilai filosofis yang terkandung dalam media wayang. Nana RamadijantiH. Fadilah FahrulDini Maulidiyah PangestuIndonesia is well known as “a country with thousands of culture”, and one of the famous Indonesian culture is traditional dance from each ethnic group. Unfortunately nowadays, traditional dance have been eliminated by modern dance, in accordance with people's lifestyles. For traditional dance revitalization, one of the option, is by participating in traditional dance conservation. We can preserve traditional dance by teaching traditional dance at school. Teaching traditional dance at school will give a big impact on its preservation. Nowadays, traditional dance is taught by using books. Unfortunately, using that approach cause the student to lose their interest. To solve the problem on traditional dance preservation, the writer had created an application to enable traditional dance basic movement learning virtually, on this case Remo Traditional Dance. This application equipped with Kinect sensors which can track and give feedbacks to users who learn Remo Traditional dance, based on the Skeletal Tracking method. With this method, the application can locate the joints of the tracked users in space and track their movements over time. The application performance is evaluated based on questionnaires. The application can improve students' appreciation of uniqueness of traditional dance. Moreover, this application can improve student's interest to learn the traditional dance movements that appear on the Etis Dalam WayangH AmirAmir, H. Nilai-Nilai Etis Dalam Wayang, Jakarta Pustaka Sinar Harapan, Kulit sebagai media pendidikan Budi PekertiFerdi ArifinArifin, Ferdi. Wayang Kulit sebagai media pendidikan Budi Pekerti, ‖Jurnal Sejarah dan Budaya Jantra‖, Vol. 8, No. 1, Juni 2013 pertunjukan-wayang-kulit-purwa/, anonim Perlindungan warisan budaya. anonom Makalah perubahan kebudayaan karena dari luarK WalujoDunia WayangYogyakartaWalujo K. Dunia wayang. Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2000. pertunjukan-wayang-kulit-purwa/, anonim. 2008. Perlindungan warisan budaya. anonom. 2009. Makalah perubahan kebudayaan karena dari luar. karena-pengaruh-dari luar/ melestarikan-budaya-bangsa/Beberapa Catatan Tentang Seni Pertunjukan IndonesiaSoedarsonoSoedarsono. Beberapa Catatan Tentang Seni Pertunjukan Indonesia. Yogyakarta Konservatori Tari Indonesia di Yogyakarta, Sena Wangi, 1999. Isma'un, B. Peranan Koleksi Wayang dalam Kehidupan MasyarakatB HasrinuksmoEnsiklopedi WayangIndonesiaHasrinuksmo B. Ensiklopedi Wayang Indonesia. Jakarta Sena Wangi, 1999. Isma'un, B. Peranan Koleksi Wayang dalam Kehidupan Masyarakat. Yogyakarta Depdikbud, Pustaka PelajarK WalujoDuniaWalujo K. Dunia wayang. Yogyakarta Pustaka Pelajar, Isma'unIsma'un, B. Peranan Koleksi Wayang dalam Kehidupan Masyarakat. Yogyakarta Depdikbud, 1990. Gamelanresmi menjadi Warisan Budaya Takbenda Dunia dari Indonesia yang ke-12. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menyampaikan kegembiraan dan rasa bangga atas capaian di bidang kebudayaan yang diperjuangkan sejak 2019 tersebut. "Ini adalah capaian kita sebagai bangsa Indonesia yang tumbuh
Mahasiswa/Alumni Universitas Brawijaya19 April 2022 0217Halo Lestari, kakak bantu jawab ya! Jawabannya adalah C. Menggunakan wayang sebagai media pembelajaran di kelas. Berikut penjelasannya ya! Wayang adalah warisan budaya bangsa indonesia yang perlu dilestarikan. pertunjukan wayang saat ini mulai ditinggalkan oleh generasi muda, sehingga dikhawatirkan wayang tidak dikenal lagi dimasyarakat indonesia. Adapun upaya pelestarian warisan budaya yang sesuai informasi tersebut adalah dengan cara menggunakan wayang sebagai media pembelajaran di kelas. Dengan demikian, generasi muda akan mengetahui eksistensi dari wayang sebagai salah satu warisan budaya bangsa. Terima kasih sudah bertanya dan gunakan Roboguru, semoga membantu ya!
DariHasil Voting 1238 Orang Sepakat dengan Jawaban: A. mengajarkan wayang pada mata pelajaran bahasa Jawa.. Terkait Pertanyaan Wayang adalah warisan budaya bangsa Indonesia yang perlu dilestarikan. Pertunjukan wayang saat ini mulai ditinggalkan oleh generasi muda, sehingga dikhawatirkan wayang tidak dikenal lagi di masyarakat Indonesia. Oleh Ani Rachman, Guru SDN Muhajirin, Muaro Jambi, Provinsi Jambi - Upaya pelestarian peninggalan budaya menjadi kebutuhan bagi bangsa Indonesia. Adapun salah satu budaya bangsa Indonesia yang perlu dilestarikan untuk saat ini adalah wayang. Hal ini karena sudah banyak generasi muda yang kurang berminat untuk menyaksikan pertunjukan wayang. Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk melestarikan wayang sebagai aset bangsa Indonesia adalah sebagai berikut Berkunjung Ke museum yang berkaitan dengan wayang Museum Wayang merupakan salah satu tempat yang digunakan untuk berwisata berada di kawasan Kota Tua, Jakarta museum ini terdapat dua bentuk boneka dan wayang kulit, selain itu, terdapat beberapa koleksi, yakni koleksi boneka Unyil, wayang golek, wayang kulit, dan beberapa wayang dari daerah lain. Terdapat juga boneka yang berasal dari luar negeri seperti Belanda dan Rusia. Boneka Unyil merupakan boneka yang menjadi ciri khas wayang di museum tersebut dan ada juga wayang kulit yang berasal dari daerah di seluruh Indonesia. Selain museum wayang di Jakarta, masih ada museum yang berkaitan dengan wayang di Indonesia. Museum tersebut antara lain museum wayang Indonesia yang terdapat di Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah, museum Wayang Kekayon terdapat di Yogyakarta, museum Wayang Sendang Mas terdapat di Banyumas, dan lain sebagainya. Dengan berkunjung ke museum yang berkaitan dengan wayang, kita juga bisa mendapatkan wawasan lebih mengenai dunia pewayangan yang saat ini mulai dilupakan terutama oleh generasi muda. Baca juga Jenis-jenis Wayang yang Populer di Indonesia Ikut menyaksikan pertunjukan wayang Saat ini, pertunjukan wayang sebagian besar masih dipentaskan di beberapa daerah di Indonesia yang bertujuan untuk menghibur warga ketika ada acara hajatan atau pementasan budaya. Kesenianwayang adalah sebuah seni pertunjukan yang biasa dijumpai di daerah jawa. Seiring berjalan nya waktu, ternyata penikmat wayang tidak hanya warga negara Indonesia saja. Wisatawan asing juga ada loh yang senang melihat pertunjukan wayang! Foto oleh Ron Lach kehidupan modern ini, orang sering terjebak dalam aktivitas duniawi yang terasa monoton dan tidak berarti. Namun, di tengah hiruk pikuk kehidupan, seringkali kita melupakan nilai-nilai budaya dan tradisi yang sangat penting. Salah satu warisan budaya yang memiliki filosofi mendalam dan dapat menginspirasi adalah Wayang. Kesenian tradisional ini tidak hanya untuk hiburan tetapi juga mengandung nilai-nilai filosofis yang penting dalam kehidupan kita. Dalam artikel kali ini, kita akan mengupas nilai-nilai filosofis seni wayang dan mengapa penting bagi kita untuk melestarikan dan Pembelajaran tentang KehidupanWayang menyajikan cerita yang mencerminkan berbagai aspek kehidupan manusia. Dalam setiap pertunjukan kita bisa belajar tentang moralitas, kebaikan, keburukan dan kesulitan hidup. Karakter wayang, baik yang buruk maupun yang baik, mewakili sifat-sifat manusia dalam diri kita. Kehadiran tokoh-tokoh seperti Arjuna, Yudistira, dan Rama mengajarkan kita keberanian, kesetiaan, dan kebajikan untuk diikuti dalam Keseimbangan antara Kelebihan dan KekuranganDalam pewayangan, setiap tokoh memiliki karakteristik yang unik dan berbeda. Ada yang memiliki kekuatan fisik yang luar biasa, ada yang licik, dan ada yang lembut. Hal ini mengajarkan kita bahwa setiap individu memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Wayang mengingatkan kita bahwa hidup adalah mencari keseimbangan antara kekuatan dan kelemahan. Dengan menerima dan memahami kesalahan kita, kita dapat tumbuh dan berkembang menjadi individu yang lebih Konsep Perjalanan dan PerjuanganPertunjukan wayang sering menggambarkan perjalanan dan perjuangan tokoh utama. Mereka menghadapi rintangan dan tantangan yang akan menguji kekuatan dan keberanian mereka. Dalam kehidupan nyata juga kita menghadapi rintangan dan kesulitan. Wayang mengajarkan kita keuletan, tekad dan pentingnya pantang menyerah dalam menghadapi cobaan hidup. Pesan ini sangat penting di dunia sekarang ini, yang seringkali penuh tekanan dan Penjagaan Warisan BudayaWayang bukan hanya seni pertunjukan, tetapi juga warisan budaya yang kaya dan berharga. Di era globalisasi ini penting bagi kita untuk melestarikan dan menghormati budaya dan tradisi kita sendiri. Wayang merupakan simbol identitas bangsa terkait dengan nilai-nilai filosofis yang dikandungnya. Dengan mempelajari dan membudayakan seni wayang, kita dapat menghormati dan melestarikan warisan budaya yang kita warisi dari nenek moyang Pengajaran tentang Kebaikan dan KejahatanWayang sering mewakili konflik antara yang baik dan yang jahat. Tokoh antagonis seperti Rahwana atau Kurawa mewakili sifat negatif manusia, sedangkan tokoh protagonis seperti Rama atau Pandawa mewakili kebajikan dan keadilan. Melalui pertunjukan wayang, kita diajarkan bahwa kebaikan selalu menang atas kejahatan. Pesan ini mengingatkan kita akan pentingnya memilih jalan yang benar dan memperjuangkan keadilan dalam kehidupan kita Simbolisme dan Makna MendalamWayang menggunakan simbol-simbol yang kaya dan bermakna. Setiap tangan, wajah atau gerakan wajah yang digunakan oleh dalang memiliki arti dan makna tertentu. Melalui pengamatan yang cermat, penonton dapat memahami filosofi yang terkandung dalam setiap kalimatnya. Wayang mengajarkan kita pentingnya melihat melampaui penampilan fisik dan mencari makna yang lebih dalam dalam setiap interaksi dan peristiwa dalam hidup merupakan kesenian tradisional yang tidak hanya memberikan hiburan, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai filosofis yang menggugah. Saat kita belajar wayang, kita bisa belajar tentang kehidupan, keseimbangan, perjalanan, kebaikan dan kejahatan, dan makna di balik setiap simbol. Melalui seni yang indah ini kita berhubungan dengan akar budaya kita dan memperkaya pengalaman hidup karena itu, penting bagi kita untuk melestarikan dan menghargai nilai-nilai filosofis wayang. Pertunjukan wayang harus kita dukung, libatkan generasi muda dalam mempelajari kesenian ini dan mengintegrasikan nilai-nilai yang terkandung dalam wayang ke dalam kehidupan sehari-hari. Ini memungkinkan kita untuk memperkaya hidup kita dan melestarikan warisan budaya yang berharga ini untuk generasi mendatang. Search Asal Susuk. Banyak teori atau paham-paham yang dikemukakan oleh ilmuwan mengenai masalah tersebut, tetapi semuanya belum dapat memberikan jawaban yang memuaskan Merekalah yan kalau masih ragu-ragu silahkan cari tahu dari keturunan asli Kapitan Jongker Ada beberapa pendapat mengenai asal usul Bahasa Melayu Satu memberitahu cerita sepasang suami isteri yang tinggal hidup yang miskin, di Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Saya awali tulisan ini dengan peribahasa yang barang tentu tidak asing lagi di telinga kita, menjadi kata-kata yang selalu diulang-ulang ketika seorang guru sejarah mendidik murid-muridnya, kurang lebih seperti ini pepatahnya bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Saya pribadi mengakui jika memang benar harus seperti itu, saya sepakat karena tidak mungkin suatu bangsa dapat menjadi bangsa yang maju, bangsa yang besar, yang disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia tanpa ia mengenali, memahami, bahkan mengambil pelajaran dari sejarah bangsanya sendiri. Dewasa ini mari kita tegaskan jika di zaman sekarang bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu melanjutkan kejayaan bangsanya seperti apa yang dicita-citakan para pendahulunya, bukan hanya sekedar menghargai tapi melakukan aksi nyata. Bung Karno pun sang proklamator kemerdekaan republik ini pernah berkata jika bangsa Indonesia jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah atau biasa kita kenal dengan istilah jasmerah. Pembelajaran sejarah sendiri sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan mulai dari tingkat sekolah dasar secara tematik, kemudian secara terpadu menjadi ilmu pengetahuan sosial di sekolah menengah pertama, dan menjadi mata pelajaran khusus di sekolah menengah atas. Pelajaran sejarah dari zaman ke zaman mengalami tantangan yang saya anggap semakin berat. Image sejarah yang membosankan, ngantuk, gagal move on dan hal-hal negatif lainnya menjadi stigma yang melekat di sebagian besar siswa kita. Oleh karena itu dibutuhkan pengemasan pembelajaran sejarah yang menyenangkan, dekat dengan siswa, dan tentunya membuat siswa tergugah untuk peduli akan sejarahnya. Pembelajaran sejarah sendiri tentunya bisa kita lakukan tidak hanya di dalam kelas saja, karena kalau kita hanya terpaku di dalam kelas tentunya siswa akan merasa jika sejarah hanya berbicara tetang ceramah, tentang buku-buku tebal, dan tentang peristiwa yang sudah pasti tidak pernah mereka ketahui bahkan mereka alami. Sehingga model pembelajaran di luar kelas bisa digunakan sebagai solusi dari problema yang mengemuka tersebut. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Sudjana dan Rivai 2013, hlm. 208 jika guru dan siswa bisa mempelajari keadaan sebenarnya di luar kelas dengan menghadapkan para siswa kepada lingkungan aktual untuk dipelajari, diamati dalam hubungannya dengan proses belajar mengajar, maka pembelajaran akan lebih mudah dipahami. Pembelajaran sejarah di luar kelas akan lebih konkret apabila siswa diajak untuk melakukan site tours ke situs-situs bersejarah di daerahnya. Berkunjung ke tempat bersejarah atau melihat langsung benda-benda tinggalan purbakala yang disebut cagar budaya. Dalam UU No. 11 Tahun 2010 disebutkan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan yang melalui proses penetapan nasional sedikitnya ada 13 warisan milik Indonesia yang telah dicatat UNESCO menjadi Warisan Dunia The World Heritage. Ke-13 warisan itu dikelompokkan dalam tiga kategori berbeda, yaitu warisan alam, cagar alam atau situs, dan karya tak benda. 1 2 3 4 5 Lihat Sosbud Selengkapnya 8Warisan Budaya Indonesia yang Pernah Diklaim Malaysia . Karena budaya bangsa lain adalah hak milik negara lain yang dilestarikan dengan cara turun temurun di daerah itu sendiri. Budaya masing-masing negara mempunyai hak milik tersendiri dan negara lain tidak boleh mengklaim budaya bangsa asing sebagai bentuk menghargai budaya mereka
WAYANG kulit merupakan salah satu aset budaya bangsa. Karena itu, seni tradisional warisan leluhur ini perlu dikembangkan dan dilestarikan. "Wayang kulit menjadi hiburan tradisional yang hingga saat ini masih sangat digemari warga masyarakat khususnya di Jawa Tengah," ungkap Bupati Klaten, Jawa Tengah, Sri Mulyani, pada pergelaran wayang kulit semalam untuk di Balai Desa Nglinggi, Klaten Selatan, Senin 15/8 malam. Pentas wayang kulit oleh dalang Ki Mulyono PW dengan lakon Begawan Sabdowolo itu dielar dalam rangka HUT ke-77 RI dan Hari Jadi ke-218 Kota Klaten. "Kita patut bersyukur wayang kulit tetap eksis sampai sekarang. Karena itu, kewajiban kita bersama untuk terus mengembangkan dan melestarikannya," tambahnya. Untuk itu, Bupati berharap seni tradisional wayang kulit tidak terkikis budaya asing di era globalisasi. Maka, upaya nguri-uri budaya jawi ini sangat penting. Sri Mulyani mengajak kepada semua pihak, khususnya generasi muda untuk menjunjung tinggi seni budaya tradisional warisan leluhur tersebut. "Pergelaran wayang kulit itu penuh dengan muatan atau nilai tontonan, tuntunan, dan tatanan hidup dalam masyarakat." Pentas wayang kulit di Balai Desa Nglinggi juga dihadiri anggota DPRD Jateng Anton Lami Suhadi, Pj Sekda J Prihono, Forkopimda, dan ribuan penonton. Penonton pergelaran wayang kulit malam itu terhibur, terlebih dengan dihadirkannya Duo Sinden Apri-Mimin dan Sinden Ngetren Elisha Orcharus. Menurut Kades Nglinggi, Sugeng Mulyadi, pentas wayang kulit itu untuk hiburan masyarakat. Karena, sudah dua tahun di masa pandemi tidak ada pertujunkan wayang kulit. "Dalam pentas wayang kulit malam ini kami juga menyiapkan hadiah, seperti sepeda, kulkas, mesin cuci, kipas angin, dan hadiah menarik lainnya," ujarnya. N-2
WayangKulit merupakan salah satu seni budaya yang. terdapat di Indonesia yang banyak disukai oleh masyarakat dari orang dewasa hingga anak-anak. Dengan ditetapkannya Wayang Kulit s ebagai Warisan Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. [caption caption="ilustrasi merupakan salah satu unsur jatidiri bangsa Indonesia dan mampu membangkitkan rasa solidaritas menuju persatuan, wayang mempunyai peran yang bermakna dalam kehidupan dan pembangunan budaya khususnya untuk membentuk watak United Nations Educational telah menegaskan komitmennya untuk mengembangkan wayang, begitu pula harapan kita kepada pemerintah dan semua pihak untuk ikut serta mempertahankan dan mengembangkan budaya bangsa, terutama menghadapi modernisasi. Perlu antisipasi secara cerdas untuk mencegah derasnya erosi kebudayaan yang melanda bangsa-bangsa di dunia, yang dapat mengancam eksistensi seni tradisi dan budaya pada umumnya khusunya adalah wayang. Lembaga internasional mengakui bahwa wayang adalah karya seni adiluhung yang penuh nilai-nilai fisolofis dan ajaran-ajaran moral, adapun alasan lembaga dunia tersebut memberi pengakuan yang begitu terhormat pada seni pewayangan. Dapat ditelusuri dari berbagai aspek yaitu segi historis, filosofis,, dan sosiologis. Dari segi historis, berdasarkan Prasasti Wukajana wayang dikenal dengan pada abad XII Masehi. Wayang adalah ciptaan budaya jenius bangsa Indonesia yang telah dikenal sekurang-kurangnya sejak abad ke-10 dan telah dikembangkan hingga saat ini. Wayang pada awalnya merupakan budaya lisan yang bermutu seni tinggi, daya tahan dan perkembangan wayang telah teruji dalam menghadapi tantangan zaman. Wayang bukan hanya sekedar tontonan atau hiburan melainkan berisi tuntunan dan nasihat Pitutur yang penuh dengan keteladanan, dan wayang merupakan bayangan atau simbol kehidupan manusia dari lahir sampai Buku Wayang Sebagai Warisan Budaya DuniaPenulis Soetrisno R Lihat Inovasi Selengkapnya
Iniyang Mesti Dilakukan Generasi Milenial terhadap Warisan Budaya Bangsa Indonesia. Tak diragukan lagi, bahwa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan budaya, ratusan bahkan mungkin ribuan, baik budaya yang berupa benda maupun tak benda. Wayang, batik, keris, tari-tarian, alat musik tradisional daerah, bangunan bersejarah, lagu-lagu daerah dan
Sebagaimana masyarakat lain di planet Bumi ini, masyarakat Indonesia yang terdiri atas ratusan suku dan etnis ini juga memiliki tradisi dan kebudayaan yang khas dan unik, baik yang murni dibentuk oleh faktor-faktor lokal, global atau internasional, maupun gabungan lokal dan global yang oleh sosiolog Roland Robertson disebut “glokal” atau “glocalization”. Meskipun Indonesia memiliki tradisi dan kebudayaan yang sangat kaya, tetapi bukan berarti bahwa tradisi dan kebudayaan itu bisa eksis selamanya. Jika tradisi dan kebudayaan warisan leluhur itu tidak dirawat, dijaga, dan dilestarikan dengan seksama, maka bukan hal yang mustahil jika kelak tradisi dan budaya itu tinggal kenangan saja. Bukan hanya kelak, sekarang pun bahkan sudah terjadi. Sejumlah tradisi dan kebudayaan warisan leluhur bangsa “lenyap dari peredaran” karena sejumlah faktor. Misalnya, generasi muda Jawa khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur mana sekarang yang mengenal sistem tulisan carakan atau “ho no co ro ko” yang dulu diajarkan di sekolah dan dipraktikkan di masyarakat? Hampir dipastikan warisan budaya ini segera musnah karena tidak lagi dipraktikkan di masyarakat. Siapa kini yang peduli untuk menjaga, merawat, melestarikan, memperjuangkan, atau bahkan mengembangkan warisan tradisi dan khazanah kultural, intelektual, dan spirititual serta nilai-nilai luhur leluhur nusantara kita? Siapa yang peduli memperkenalkan kekayaan khazanah kebudayaan nusantara ke masyarakat luas, lebih-lebih dunia internasional atau mancanegara? Pertanyaan ini gampang tapi tak mudah untuk menjawabnya. Budaya yang Baik dan yang Buruk Tentu saja tidak semua praktik tradisi dan kebudayaan masyarakat suku-etnis di Indonesia perlu dilestarikan. Tradisi dan budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai universal kemanusiaan tentu saja tidak perlu dilestarikan. Misalnya, tradisi potong jari jika ada anggota keluarga yang meninggal di sebuah masyarakat suku di Papua atau tradisi membunuh sebagai bentuk kehormatan untuk membela martabat keluarga atau kelompok klan dan suku yang dalam antropologi budaya disebut “honor killing”. Tetapi tradisi dan kebudayaan yang dianggap baik secara universal dan bermanfaat bagi publik luas sangat perlu untuk dijaga, dirawat, dilestarikan, dipertahankan, diperjuangkan, dan bahkan disebarluaskan. Penegasan ini penting apalagi dewasa ini, alih-alih merawat dan mengembangkan tradisi dan kebudayaan nusantara, banyak pihak yang justru cuek dan mengabaikannya. Bukan hanya itu saja, ada bahkan kelompok sosial-keagamaan, baik dalam Islam maupun Kristen, yang malah mendiskreditkan, melecehkan, mengharamkan, dan mengtabukan tradisi asli dan budaya lokal nusantara dengan alasan bertentangan dengan syariat/akidah Islam dan Kristen. Penulis Sumanto al QurtubyFoto DW/A. Purwaningsih Dua Kelompok Kontrabudaya Nusantara Setidaknya ada dua kelompok kontra nusantara yang jika tidak diantisipasi dengan baik bisa berpotensi menghilangkan tradisi dan kebudayaan nusantara di masa mendatang. Kedua kelompok ini ada di dalam struktur pemerintah maupun di luar pemerintah state and society. Kelompok pertama adalah kelompok modernis yang tergila-gila dengan modernitas kemodernan atau kekinian dan kemajuan. Karena terlalu terobsesi dengan kemajuan dan gemerlap dunia modern, mereka mengabaikan hal-ihwal yang berbau lokal karena dianggap tradisional, kuno, kolot, old-fashion, tidak fashionable, atau bahkan “ndeso” dan “kampungan”. Biasanya kelompok ini tergila-gila dengan masyarakat yang mereka bayangkkan atau imajinasikan sebagai “masyarakat maju” dalam hal pendidikan, pengetahuan, sains dan teknologi, perabadan, dan seterusnya. Karena Barat khususnya Amerika Serikat atau Eropa Barat kebetulan saat ini yang dipersepsikan sebagai simbol kemodernan dan kemajuan itu, maka banyak masyarakat Indonesia dewasa ini, tua-muda, laki-perempuan, yang berbondong-bondong meniru “gaya Barat”, baik dalam hal tata-busana, bahasa percakapan maupun pergaulan sehari-hari. Dulu, pada zaman kolonial Belanda, sekelompok elite “pribumi” juga tergila-gila dengan “kompeni” yang karena dianggap sebagai representasi dari kemodernan dan kemajuan tadi. Kedua adalah kelompok agamis, khususnya “kelompok Islamis” dan juga “kelompok syar’i” tetapi juga sejumlah kelompok Kristen puritan-reformis yang juga kontra terhadap tradisi dan budaya lokal nusantara. Harap dibedakan antara “kelompok agama” dan “kelompok agamis”, antara “kelompok Islam” dan “kelompok Islamis” silakan baca karya Bassam Tibi, Islamism and Islam. Yang dimaksud dengan “kelompok agamis” disini baik muslim maupun nonmuslim adalah kelompok fanatikus agama atau kaum reformis-puritan yang mengidealkan kemurnian dan kesempurnaan praktik doktrin dan ajaran agama yang bersih dan murni dari unsur-unsur lokal. Bagi kelompok agamis ini, mempraktikkan elemen-elemen tradisi dan budaya lokal dianggap sebagai perbuatan syirik atau tindakan bid’ah atau bidat yang bisa mengganggu dan menodai otentisitas, kesucian, dan kemurnian doktrin dan ajaran agama mereka. Oleh mereka, aneka adat, tradisi, dan budaya lokal itu dianggap tidak relijius tidak Islami, tidak kristiani dan seterusnya, dan karena itu harus dijauhi dan ditolak karena bertentangan dengan Kitab Suci, teologi atau aqidah, praktik kenabian, serta doktrin dan ajaran normatif agama mereka. Bukan hanya itu saja. Atas nama pemurnian ajaran agama, mereka juga menyerang berbagai aset kultural, nilai-nilai luhur leluhur, dan khazanah keilmuan nenek moyang nusantara karena dianggap bid’ah atau bidat tidak dipraktikkan oleh Nabi Muhammad dan generasi awal Islam atau oleh Yesus dan rasul mula-mula dituduh tidak agamis, dicap tidak syar’i, atau dipandang tidak sesuai dengan ajaran normatif keagamaan tertentu, seraya memperkenalkan dan dalam banyak hal memaksakan doktrin, wacana, gagasan, pandangan, dan ideologi keagamaan eksklusif-puritan dan aneka ragam budaya luar kepada masyarakat Indonesia. Jika “kelompok modernis” di atas mengabaikan tradisi dan budaya lokal lebih karena alasan-alasan yang bersifat profan-sekuler-duniawi, maka “kelompok agamis” menolak adat, tradisi, dan kebudayaan lokal karena alasan teologi-keagamaan yang bersifat sakral-relijius-ukhrawi. Berbeda dengan “kelompok modernis”, “kelompok agamis” ini sangat agresif dalam menyerang hal-ihwal yang berbau lokal. Mereka bukan hanya sekedar mengabaikan dan tak mempraktikkan tradisi dan budaya lokal tetapi juga mengadvokasi untuk memusnahkannya. Meskipun “kelompok modernis”, atau tepatnya sejumlah faksi militan kelompok modernis, dalam batas tertentu, juga menyerang tradisi dan budaya lokal nusantara tetapi mereka tidak seekstrim seperti yang dilakukan oleh “kelompok agama” yang mengampanyekan atau bahkan mempropagandakan penghancuran tradisi, budaya dan nilai-nilai luhur leluhur nusantara. Tanggung Jawa Bersama Untuk melestarikan tradisi dan kebudayaan bangsa Indonesia, maka perlu upaya dan keseriusan semua pihak, baik negara maupun masyarakat, baik pemerintah maupun rakyat. Karena ini merupakan tanggung jawa bersama. Kerja sama intensif negara-masyarakat state-society cooperation ini menjadi kunci bagi kelestarian tradisi dan kebudayaan luhur warisan leluhur bangsa Indonesia agar tak punah di kemudian hari akibat kelengahan kita. Semoga bermanfaat. Sumanto Al Qurtuby adalah Direktur Nusantara Institute; dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum & Minerals, Arab Saudi; Visiting Senior Scholar di National University of Singapore, dan kontributor di Middle East Institute, Washington, Ia memperoleh gelar doktor PhD dari Boston University. Selama menekuni karir akademis, ia telah menerima fellowship dari berbagai institusi riset dan pendidikan seperti National Science Foundation; Earhart Foundation; the Institute on Culture, Religion and World Affairs; the Institute for the Study of Muslim Societies and Civilization; Oxford Center for Islamic Studies, Kyoto University’s Center for Southeast Asian Studies, University of Notre Dame’s Kroc Institute for International Peace Studies; Mennonite Central Committee; National University of Singapore’s Middle East Institute, dlsb. Sumanto telah menulis lebih dari 25 buku, puluhan artikel ilmiah, dan ratusan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Di antara jurnal ilmiah yang menerbitkan artikel-artikelnya, antara lain, Asian Journal of Social Science, International Journal of Asian Studies, Asian Perspective, Islam and Christian-Muslim Relations, Southeast Asian Studies, dlsb. Di antara buku-bukunya, antara lain, Religious Violence and Conciliation in Indonesia London Routledge, 2016 dan Saudi Arabia and Indonesian Networks Migration, Education and Islam London & New York Tauris & Bloomsbury. *Setiap tulisan yang dimuat dalam DWNesia menjadi tanggung jawab penulis. *Tulis komentar Anda di kolom di bawah ini. .
  • o6hpc57222.pages.dev/375
  • o6hpc57222.pages.dev/360
  • o6hpc57222.pages.dev/938
  • o6hpc57222.pages.dev/871
  • o6hpc57222.pages.dev/435
  • o6hpc57222.pages.dev/102
  • o6hpc57222.pages.dev/456
  • o6hpc57222.pages.dev/854
  • o6hpc57222.pages.dev/339
  • o6hpc57222.pages.dev/20
  • o6hpc57222.pages.dev/408
  • o6hpc57222.pages.dev/866
  • o6hpc57222.pages.dev/616
  • o6hpc57222.pages.dev/624
  • o6hpc57222.pages.dev/777
  • wayang adalah warisan budaya bangsa indonesia yang perlu dilestarikan